Selasa, 31 Maret 2015

PT. Freeport Indonesia

PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. 
Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan.
PT Freeport Indonesia bertahun-tahun telah mernikmati pengerukan mineral ore atau konsentrat mineral yang berkapal-kapal diangkut ke AS dengan alasan belum ada smelter atau sarana pengolahan dan pemurnian. Mineral Ore atau konsentrat mineral tersebut pada hakikatnya selain mengandung tembaga juga diyakini mengandung emas dan sangat mungkin uranium.
Pada tahun 2009 dibuat UU No 4 Tentang Minerba oleh DPR dan Pemerintah yang mewajibkan dalam tiga tahun setelah ditetapkan yaitu tahun 2013 semua Perusahaan Tambang, baik PMA maupun PMDN harus sudah membuat smelter. Namun sampai 2013 akhir ternyata hanya PT INCO Soroaco Palopo yang telah membangun smelter untuk mengolah nikel.
Semua perusahaan penambangan baik PMA maupun PMDN menghindari kewajiban membangun smelter dan mengekspor langsung mineral ore atau konsentrat mineral ke negerinya. Banyak perusahaan tambang PMDN yang kerjanya hanya mengumpulkan/membeli mineral ore atau konsentrat mineral dari pemegang kontrak karya dan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP), selanjutnya setelah terkumpul menjualnya ke luar negeri.
Kementerian ESDM sesuai amanat UU Minerba menegaskan bahwa pada akhir tahun 2013 akan mengeluarkan PP yang menyatakan UU No 4 Tahun 2009 sejak tanggal 12 Januari 2014 akan diberlakukan, yaitu: Pertama, ekspor mineral ore atau konsentrat mineral dilarang. Kedua, ekspor hasil tambang hanya diizinkan setelah diolah dengan smelter di Indonesia

Kebijaksanaan dan keputusan ini mengakibatkan reaksi keras, yang diperkirakan karena:
1. Kedua perusahaan tersebut kehilangan kesempatan mengolah mineral ore atau konsentrat mineral yang langsung diangkut dari Indonesia, di mana didalamnya selain tembaga juga emas dan diduga bahan mineral penting lainnya, misalnya uranium.
2. Perusahaan tambang PMDN, harus mengurangi jumlah buruhnya karena harus mengurangi produksinya yang selama ini bisa dijual langsung dalam bentuk mineral ore atu konsentrat mineral langsung keluar negeri atau tengkulak.
3. Baik perusahaan PMA dan PMDN telah menggunakan masalah perburuhan untuk menekan Pemerintah agar pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 ditunda. Mereka mengancam PHK akan banyak dilakukan dan pengangguran tenaga buruh akan terjadi. 
4. Aksi buruh PT Freeport Indonesia yang dengan biaya besar mengirim massa buruh ke Jakarta, dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk menekan Pemerintah dengan mengangkat sentimen kedaerahan.
5. Perusahaan PMA asal AS (Freeport dan Newmont) menolak pembangunan smelter, karena peluang untuk mengangkut mineral ore atau konsentrat mineral ke AS hilang. 
6. Perusahaan PMDN menolak pembangunan smelter karena sangat mahal dan biaya operasionalnya tinggi, karena mengkonsumsi tenaga listrik yang besar, walaupun hal ini dapat dibantah karena PT Inco Soroaco telah membangun Pusat Tenaga Listrik sendiri sejak akhir tahun 1970. 
7. Apabila penambang minerba harus membangun smelter dan beroperasi disangsikan PLN akan mampu men-supply tenaga listrik yang diperlukan.

Isi PP No 1 Tahun 2014 belum diumumkan, namun diperkirakan mengandung ketentuan-ketentuan pokok yang sudah banyak tersiar sebelumnya, yaitu sebagai berikut: 
     1. Sesuai jenisnya ekspor mineral ore masih diizinkan sepanjang mengandung jumlah prosentase mineral yang cukup, yang tergantung pada macam mineral yang akan di ekspor dengan prosentase yang diizinkan tidak sama. Mineral Ore hasil produksi Freeport dan Mewmont masih boleh diekspor langsung karena mengandung kandungan tembaga diatas 30 %. 
           2. Smelter harus dibangun dalam tiga tahun, dimana tuntas pada 2017. 
     3. Perusahaan (baik PMA maupun PMDN) yang pada tahun 2017 belum membangu smelternya, izin kontraknya (Kontrak Karya) atau Ijin Usaha Pertambangannya (IUP) akan dicabut.

Situasi yang terjadi dalam pelaksanaan UU Minerba telah memancing tanggapan yaitu:
      1. Di dalam negeri masalah perburuhan mengarah sudah menjadi unsur penekan dalam perumusan kebijaksanaan politik.
         2. Presiden dan Pemerintahan RI yang baru yang akan terbentuk setelah Oktober 2014 akan menghadapi tugas mentuntaskan kelanjutan masalah ini.
            3. Menunda pembangunan smelter (diperkiraan tiga tahun) dengan ancaman pada tahun 2017 perusahaan pertambangan yang belum membangun smelter akan dicabut kontak arya atau IUP-nya.

Dalam pemikiran yang strategis, Pemerintah harus tegas dan konsekuen dalam melaksanakan UU Minerba, karena sejatinya pelaksanaan UU ini sebenarnya menunjukkan bagaimana dignity kita dalam melindungi dan mengamankan ketahanan energi (energy security) ke depan, jangan sampai dilupakan masalah ketahanan energi, ketahanan pangan dan air bersih beberapa tahun ke depan akan menentukan sebuah negara aman atau chaos, masih ada atau bubar bahkan akan menjadi faktor penting terjadinya perang dunia. 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB XIII, Perpajakan Internasional dan Penetapan Harga Transfer

KESERAGAMAN SISTEM PAJAK NASIONAL Sebuah perusahaan bisa melakukan bisnis internasional dengan cara mengirimkan barang dan jasa atau deng...