Kamis, 04 Juni 2015

HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untukIntellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Hak Paten (Patent) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal atau tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious).
Hukuman atau sanksi yang diberikan bagi pelanggar Hak Cipta, adalah tuntutan hukuman pidana, atau juga gugatan perdata, jika dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, tanpa hak meniru/menyalin, menerbitkan/menyiarkan, memperdagangkan/mengedarkan, atau tanpa hak menjual hasil karya cipta orang lain atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan), maka akan dikenakan tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi 'pidana'.
Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja, atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain, dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang dari hasil pelanggaran Hak Cipta, maka dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun, dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program komputer, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sumber:


Jumat, 01 Mei 2015

Asas-Asas Hukum Perjanjian

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. (Sudikno Mertokusumo 2006. Penemuan Hukum sebuah pengantar).
Secara umum, dikenal tiga asas perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme dan asas kepastian hukum (pacta sunt servanda). Berikut penjelasannya:
1.    Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.       Membuat atau tidak membuat perjanjian
2.       Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3.       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
4.       Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
2.    Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3.    Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asaspacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
Sumber:

Selasa, 31 Maret 2015

PT. Freeport Indonesia

PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. 
Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan.
PT Freeport Indonesia bertahun-tahun telah mernikmati pengerukan mineral ore atau konsentrat mineral yang berkapal-kapal diangkut ke AS dengan alasan belum ada smelter atau sarana pengolahan dan pemurnian. Mineral Ore atau konsentrat mineral tersebut pada hakikatnya selain mengandung tembaga juga diyakini mengandung emas dan sangat mungkin uranium.
Pada tahun 2009 dibuat UU No 4 Tentang Minerba oleh DPR dan Pemerintah yang mewajibkan dalam tiga tahun setelah ditetapkan yaitu tahun 2013 semua Perusahaan Tambang, baik PMA maupun PMDN harus sudah membuat smelter. Namun sampai 2013 akhir ternyata hanya PT INCO Soroaco Palopo yang telah membangun smelter untuk mengolah nikel.
Semua perusahaan penambangan baik PMA maupun PMDN menghindari kewajiban membangun smelter dan mengekspor langsung mineral ore atau konsentrat mineral ke negerinya. Banyak perusahaan tambang PMDN yang kerjanya hanya mengumpulkan/membeli mineral ore atau konsentrat mineral dari pemegang kontrak karya dan pemegang Izin Usaha Penambangan (IUP), selanjutnya setelah terkumpul menjualnya ke luar negeri.
Kementerian ESDM sesuai amanat UU Minerba menegaskan bahwa pada akhir tahun 2013 akan mengeluarkan PP yang menyatakan UU No 4 Tahun 2009 sejak tanggal 12 Januari 2014 akan diberlakukan, yaitu: Pertama, ekspor mineral ore atau konsentrat mineral dilarang. Kedua, ekspor hasil tambang hanya diizinkan setelah diolah dengan smelter di Indonesia

Kebijaksanaan dan keputusan ini mengakibatkan reaksi keras, yang diperkirakan karena:
1. Kedua perusahaan tersebut kehilangan kesempatan mengolah mineral ore atau konsentrat mineral yang langsung diangkut dari Indonesia, di mana didalamnya selain tembaga juga emas dan diduga bahan mineral penting lainnya, misalnya uranium.
2. Perusahaan tambang PMDN, harus mengurangi jumlah buruhnya karena harus mengurangi produksinya yang selama ini bisa dijual langsung dalam bentuk mineral ore atu konsentrat mineral langsung keluar negeri atau tengkulak.
3. Baik perusahaan PMA dan PMDN telah menggunakan masalah perburuhan untuk menekan Pemerintah agar pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 ditunda. Mereka mengancam PHK akan banyak dilakukan dan pengangguran tenaga buruh akan terjadi. 
4. Aksi buruh PT Freeport Indonesia yang dengan biaya besar mengirim massa buruh ke Jakarta, dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk menekan Pemerintah dengan mengangkat sentimen kedaerahan.
5. Perusahaan PMA asal AS (Freeport dan Newmont) menolak pembangunan smelter, karena peluang untuk mengangkut mineral ore atau konsentrat mineral ke AS hilang. 
6. Perusahaan PMDN menolak pembangunan smelter karena sangat mahal dan biaya operasionalnya tinggi, karena mengkonsumsi tenaga listrik yang besar, walaupun hal ini dapat dibantah karena PT Inco Soroaco telah membangun Pusat Tenaga Listrik sendiri sejak akhir tahun 1970. 
7. Apabila penambang minerba harus membangun smelter dan beroperasi disangsikan PLN akan mampu men-supply tenaga listrik yang diperlukan.

Isi PP No 1 Tahun 2014 belum diumumkan, namun diperkirakan mengandung ketentuan-ketentuan pokok yang sudah banyak tersiar sebelumnya, yaitu sebagai berikut: 
     1. Sesuai jenisnya ekspor mineral ore masih diizinkan sepanjang mengandung jumlah prosentase mineral yang cukup, yang tergantung pada macam mineral yang akan di ekspor dengan prosentase yang diizinkan tidak sama. Mineral Ore hasil produksi Freeport dan Mewmont masih boleh diekspor langsung karena mengandung kandungan tembaga diatas 30 %. 
           2. Smelter harus dibangun dalam tiga tahun, dimana tuntas pada 2017. 
     3. Perusahaan (baik PMA maupun PMDN) yang pada tahun 2017 belum membangu smelternya, izin kontraknya (Kontrak Karya) atau Ijin Usaha Pertambangannya (IUP) akan dicabut.

Situasi yang terjadi dalam pelaksanaan UU Minerba telah memancing tanggapan yaitu:
      1. Di dalam negeri masalah perburuhan mengarah sudah menjadi unsur penekan dalam perumusan kebijaksanaan politik.
         2. Presiden dan Pemerintahan RI yang baru yang akan terbentuk setelah Oktober 2014 akan menghadapi tugas mentuntaskan kelanjutan masalah ini.
            3. Menunda pembangunan smelter (diperkiraan tiga tahun) dengan ancaman pada tahun 2017 perusahaan pertambangan yang belum membangun smelter akan dicabut kontak arya atau IUP-nya.

Dalam pemikiran yang strategis, Pemerintah harus tegas dan konsekuen dalam melaksanakan UU Minerba, karena sejatinya pelaksanaan UU ini sebenarnya menunjukkan bagaimana dignity kita dalam melindungi dan mengamankan ketahanan energi (energy security) ke depan, jangan sampai dilupakan masalah ketahanan energi, ketahanan pangan dan air bersih beberapa tahun ke depan akan menentukan sebuah negara aman atau chaos, masih ada atau bubar bahkan akan menjadi faktor penting terjadinya perang dunia. 

Sumber:

BAB XIII, Perpajakan Internasional dan Penetapan Harga Transfer

KESERAGAMAN SISTEM PAJAK NASIONAL Sebuah perusahaan bisa melakukan bisnis internasional dengan cara mengirimkan barang dan jasa atau deng...