PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI
menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung
tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten
Mimika Provinsi Papua, Indonesia.
Sudah
44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport)
bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus
diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama
pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967
memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik
lahan.
PT
Freeport Indonesia bertahun-tahun telah mernikmati pengerukan mineral ore atau
konsentrat mineral yang berkapal-kapal diangkut ke AS dengan alasan belum ada
smelter atau sarana pengolahan dan pemurnian. Mineral Ore atau konsentrat
mineral tersebut pada hakikatnya selain mengandung tembaga juga diyakini
mengandung emas dan sangat mungkin uranium.
Pada
tahun 2009 dibuat UU No 4 Tentang Minerba oleh DPR dan Pemerintah yang
mewajibkan dalam tiga tahun setelah ditetapkan yaitu tahun 2013 semua
Perusahaan Tambang, baik PMA maupun PMDN harus sudah membuat smelter. Namun
sampai 2013 akhir ternyata hanya PT INCO Soroaco Palopo yang telah membangun
smelter untuk mengolah nikel.
Semua
perusahaan penambangan baik PMA maupun PMDN menghindari kewajiban membangun
smelter dan mengekspor langsung mineral ore atau konsentrat mineral ke
negerinya. Banyak perusahaan tambang PMDN yang kerjanya hanya mengumpulkan/membeli
mineral ore atau konsentrat mineral dari pemegang kontrak karya dan pemegang
Izin Usaha Penambangan (IUP), selanjutnya setelah terkumpul menjualnya ke luar
negeri.
Kementerian
ESDM sesuai amanat UU Minerba menegaskan bahwa pada akhir tahun 2013 akan
mengeluarkan PP yang menyatakan UU No 4 Tahun 2009 sejak tanggal 12 Januari
2014 akan diberlakukan, yaitu: Pertama, ekspor mineral ore atau konsentrat
mineral dilarang. Kedua, ekspor hasil tambang hanya diizinkan setelah diolah
dengan smelter di Indonesia
Kebijaksanaan dan keputusan ini mengakibatkan reaksi keras, yang diperkirakan
karena:
1. Kedua perusahaan tersebut kehilangan kesempatan mengolah
mineral ore atau konsentrat mineral yang langsung diangkut dari Indonesia, di
mana didalamnya selain tembaga juga emas dan diduga bahan mineral penting
lainnya, misalnya uranium.
2. Perusahaan tambang PMDN, harus mengurangi jumlah buruhnya
karena harus mengurangi produksinya yang selama ini bisa dijual langsung dalam
bentuk mineral ore atu konsentrat mineral langsung keluar negeri atau
tengkulak.
3. Baik perusahaan PMA dan PMDN telah menggunakan masalah
perburuhan untuk menekan Pemerintah agar pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009
ditunda. Mereka mengancam PHK akan banyak dilakukan dan pengangguran tenaga
buruh akan terjadi.
4. Aksi buruh PT Freeport Indonesia yang dengan biaya besar
mengirim massa buruh ke Jakarta, dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk
menekan Pemerintah dengan mengangkat sentimen kedaerahan.
5. Perusahaan PMA asal AS (Freeport dan Newmont) menolak pembangunan smelter, karena peluang untuk mengangkut mineral ore atau
konsentrat mineral ke AS hilang.
6. Perusahaan PMDN menolak pembangunan smelter karena sangat
mahal dan biaya operasionalnya tinggi, karena mengkonsumsi tenaga listrik yang
besar, walaupun hal ini dapat dibantah karena PT Inco Soroaco telah membangun
Pusat Tenaga Listrik sendiri sejak akhir tahun 1970.
7. Apabila penambang minerba harus membangun smelter dan
beroperasi disangsikan PLN akan mampu men-supply tenaga listrik yang
diperlukan.
Isi
PP No 1 Tahun 2014 belum diumumkan, namun diperkirakan mengandung
ketentuan-ketentuan pokok yang sudah banyak tersiar sebelumnya, yaitu sebagai
berikut:
1. Sesuai jenisnya ekspor mineral ore masih
diizinkan sepanjang mengandung jumlah prosentase mineral yang cukup, yang
tergantung pada macam mineral yang akan di ekspor dengan prosentase yang
diizinkan tidak sama. Mineral Ore hasil produksi Freeport dan Mewmont masih
boleh diekspor langsung karena mengandung kandungan tembaga diatas 30 %.
2. Smelter harus dibangun dalam tiga tahun, dimana
tuntas pada 2017.
3. Perusahaan (baik PMA maupun PMDN) yang pada tahun
2017 belum membangu smelternya, izin kontraknya (Kontrak Karya) atau Ijin Usaha
Pertambangannya (IUP) akan dicabut.
Situasi yang
terjadi dalam pelaksanaan UU Minerba telah memancing tanggapan yaitu:
1. Di dalam negeri masalah perburuhan mengarah
sudah menjadi unsur penekan dalam perumusan kebijaksanaan politik.
2. Presiden dan Pemerintahan RI yang baru yang akan
terbentuk setelah Oktober 2014 akan menghadapi tugas mentuntaskan kelanjutan
masalah ini.
3. Menunda pembangunan smelter (diperkiraan tiga
tahun) dengan ancaman pada tahun 2017 perusahaan pertambangan yang belum
membangun smelter akan dicabut kontak arya atau IUP-nya.
Dalam
pemikiran yang strategis, Pemerintah harus tegas dan konsekuen dalam
melaksanakan UU Minerba, karena sejatinya pelaksanaan UU ini sebenarnya
menunjukkan bagaimana dignity kita dalam melindungi dan mengamankan ketahanan
energi (energy security) ke depan, jangan sampai dilupakan masalah ketahanan
energi, ketahanan pangan dan air bersih beberapa tahun ke depan akan menentukan
sebuah negara aman atau chaos, masih ada atau bubar bahkan akan menjadi faktor
penting terjadinya perang dunia.
Sumber: